Thursday, October 19, 2017

LA GALIGO DS Najib PRU 14





Kitab Bugis Kuno La Galigo

Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal usul manusia dan mitos.

Tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang terpelihara berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar.


Epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum epik Mahabharata dari India. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.

La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Ternate,Sumbawa, Jawa Timur dan Tengah, Sunda Timur dan Sunda Barat dan Melaka. 

Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.

Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.



La Galigo Versi Melayu

Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unsur Melayu dan Arab diserap sama.


Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Gowa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Gowa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. 


Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. 

Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. 

Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. 

Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. 

Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.

Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. 

Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. 

Daeng Marewah menjadi Yang Dipertuan Muda Riau.

Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor.

Juga ayahanda dari Opu Daeng Kemboja (Yang Dipertuan Muda Riau ke-3).

Opu Daeng Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan).

Opu Daeng Cella' (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).

Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo.

Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Balqis/Ratu Syeba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. 

Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'. 

Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.

La Galigo DS Najib PRU 14!

No comments:

EKSPEDISI MAHKOTA Mudik Sungai Pahang 2024