Wednesday, July 27, 2016

Siapa Bangsa Mandala Politik Yang Bina Borobudur Dan Angkor Wat?





















Borobudur satu megastruktur yang dibina oleh satu bangsa mandala politik yang advance tamadun pada zamannya ambil masa 50 tahun sejak tahun 750 hingga 800.






Angkor Wat sebuah kompleks bandaraya megastruktur seluas 500 ekar yang boleh menampung sejuta penduduk, sistem pengairan, sawah padi ditanam  3/4 kali setahun adalah hasil tamadun paling hebat dan terbesar dalam dunia pada zamannya. Dibina pada tahun 1113 selama 30 tahun.

Siapa bangsa mandala politik yang bina Borobudur ( 120 X 120 meter) dan Angkor Wat (215 X 187 meter)  yang merupakan satu monumen piramid gunapakai teknologi tinggi?

Mandala adalah konsep politik Melayu kuno bermaksud wilayah penguasaan politik seperti Empayar Srivijaya, Sailendra, Khmer dan Majapahit.


In the brief 100 years of the Sailendra dynasty of the Srivijaya Empire, the devarajas/kings created a series of monuments on Java’s central plain. During this period a young Khmer prince had been sent to Java either as a royal hostage to guarantee cooperation or for upbringing and education abroad. Either is likely as the Khmer tradition acknowledges Javanese overlordship in the later part of the 8th century.

There had already been a long history of connection between Cambodia and Java. The Javanese even considered themselves descendants of the Funanese of Cambodia. As a casual indication of their relationship, Sailendra means ‘Lord of the Mountain’ and Funan means ‘Mountain Kingdom’. Even though both kingdoms are located in the valley, there titles suggest their affinity with the mountains – the abode of the gods.

This Cambodian prince was exposed to the Javanese concept of the devaraja, which was associated with pyramid building, such as Borobudur. These god kings created their own Mount Meru. Inspired by the great Javanese culture, this young Cambodian prince escaped or just returned home to Cambodia with grandiose ideas. This was in 790 CE, when Borobudur was only midway through its 50 years of construction. Jayavarman II was the name of this Java educated Khmer Prince who returned to Cambodia and founded the Khmer Empire that eventually created Angkor Wat.


Kaitan Sriwijaya dengan Dinasti Sailendra

Kaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai kerana adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti (batu bersurat) di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Kerana prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu kuno dan bahasa Melayu kuno umumnya dituliskan pada prasasti-prasasti di Sumatera maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera.

Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya prasasti Sojomerto

Hubungan dengan kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan Maharaja China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta ufti.

Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Sepanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni China, India, dan Timur Tengah.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk. Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari ( sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha (Kedah) Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram (Kedah) mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Chronicle  China menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Canton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.

No comments:

EKSPEDISI MAHKOTA Mudik Sungai Pahang 2024